25 November 2009

Masalah Klasik Pendidikan

Manusia tidak bisa dipisahkan dengan pendidikan. Mungkin tidak berlebihan apabila kalimat tersebut diciptakan untuk melambangkan keyakinan manusia akan pentingnya pendidikan. Betapa tidak, sejak lahir hingga lanjut usiapun manusia selalu memperoleh pendidikan, baik secara formal, informal, maupun nonformal.
Keyakinan akan pentingnya pendidikan membuat sebagian besar masyarakat Indonesia antusias dalam menyekolahkan anak-anak mereka. Tidak heran apabila banyak orang beranggapan bahwa pendidikan merupakan salah satu kebutuhan primer.
Namun antusiasme masyarakat ini tampak berkurang pada saat anak-anak mereka lulus dari SMP. Mahalnya biaya pendidikan di SMA dan di perguruan tinggi mebuat sebagian kalangan, terutama kalangan yang kurang mampu, memutuskan untuk menyekolahkan anak-anak mereka hanya sampai tingkat SMP saja. Hal ini tentu disebabkan oleh program pemerintah “wajib belajar 9 tahun” hanya bisa menjangkau hingga ke sekolah setingkat SMP saja. Sehingga dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tidak apat menyentuh sekolah setingkat SMA terlebih perguruan tinggi.
Apabila dirinci lebih jauh, tingginya biaya yang harus dihadapi para orang tua dalam menyekolahkan anaknya di SMA maupun perguruan tinggi tercermin pada biaya registrasi dan biaya bulanan (pada SMA) atau biaya semester (pada perguruan tinggi). Untuk SMA, para orang tua harus merogoh kocek hingga jutaan rupiah pada saat registrasi penerimaan siswa baru. Dan untuk perguruan tinggi, biaya registrasi melalui jalur SNMPTN yang notabene merupakan jalur yang paling murah, berkisar antara Rp. 5.000.000 – 10.000.000, sedangkan biaya registrasi melalui jalur lain (PMDK, USM, dll) bervariasi mulai dari belasan hingga puluhan juta rupiah.
Mahalnya biaya pendidikan tingkat tinggi ini memunculkan opini-opini negatif di tengah-tengah masyarakat, seperti “mau pintar kok mahal?” atau “cuma orang kaya yang bisa sekolah”. Timbulnya kesenjangan dalam masyarakat ini juga didukung oleh fakta yang menunjukan bahwa sekitar 93% penduduk Indonesia hanya lulusan SMA ke bawah. Hal ini tentu saja semakin mengurangi minat masyarakat terutama yang berada di bawah garis kemiskinan untuk mengenyam pendidikan formal, terlebih pendidikan formal tingkat tinggi. Mereka enggan menyekolahkan anak-anak mereka, dan lebih memilih menyuruh anak-anak mereka untuk bekerja membantu mereka, seperti mengamen, mengemis, dan sebagainya.
Hal seperti itu semestinya tidak perlu terjadi apabila pemerintah lebih cerdik dalam mencari solusi untuk menangani masalah ini. Anggaran pendidikan 20% dalam APBN tidak akan sampai ke sasaran apabila pemerintah kurang tegas dalam meringkus “tikus-tikus” yang beraksi dibawahnya. Jangan sampai dana bertrilyun-trilyun rupiah mengalir ke kocek para pejabat yang tidak bertanggung jawab.
Inilah tantangan besar bagi negeri kita. Sudah sepatutnya kita atasi bersama, demi masa depan generasi penerus bangsa yang lebih cerah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar