14 April 2010

Makalah Korupsi (Pengganti UTS Sejarah Perekonomian)

1. Definisi Korupsi
Definisi korupsi sangatlah bervariasi. Secara harfiah korupsi merupakan serapan dari bahasa Latin yakni corruptio (dari kata kerja corrumpere) yang berarti busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, atau menyogok. Secara istilah, korupsi adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka (http://id.wikipedia.org/wiki/Korupsi).
Menurut undang-undang yang kita miliki, yakni UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2000, yang menyatakan bahwa pengertian korupsi secara umum diartikan: “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain aatau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Dapat disimpulkan bahwa yang paling disorot dalam UU tersebut adalah perbuatan memperkaya diri sendiri dengan cara-cara yang melawan hukum.
Menurut pemakaian umum istilah korupsi, kita menyebut korup apabila seorang pegawai negeri menerima pemberian yang disodorkan oleh seorang swasta dengan maksud mempengaruhinya agar memberikan perhatian istimewa pada kepentingan-kepentingan si pemberi (Alatas, 1986). Hal ini lebih condong ke dalam tindakan menyogok atau menyuap aparatur negara sebagai cara untuk mempermudah urusannya, dengan kata lain sebagai uang pelicin.
Korupsi memiliki dua saudara yang identik, yakni Kolusi dan Nepotisme. Rasanya tak akan lengkap bila membicarakan korupsi tanpa ikut membicarakan dua hal tersebut.
Mirip dengan korupsi, kolusi merupakan sikap dan perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi dalam melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancar (http://id.wikipedia.org/wiki/Kolusi), dalam hal ini, sangat berkaitan dengan uang suap / sogok. Begitu pula dengan nepotisme, yang berarti lebih memilih saudara atau teman akrab berdasarkan hubungannya bukan berdasarkan kemampuannya. Kata ini biasanya digunakan dalam konteks derogatori (http://id.wikipedia.org/wiki/Nepotisme). Misalnya, seorang direktur sebuah perusahaan pemerintah yang mengangkat istrinya sebagai sekretaris dan adiknya menjadi wakil. Tindakan itu jelas merupakan nepotisme.
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa baik korupsi, kolusi, maupun nepotisme adalah tindakan yang melawan hukum untuk memperkaya pribadi dan keluarga sendiri.
Kini wujud nyata dari tindakan korupsi memiliki banyak wajah. Tidak hanya dengan cara merekayasa jumlah dana yang dibutuhkan dalam suatu proyek pembangunan, pengadaan, dan sebagainya, namun juga dengan cara penyalahgunaan wewenang, pemerasan, menyogok aparatur negara, dan lain sebagainya. Misalnya saja seorang bupati yang mengajukan proposal untuk meminta dana pembangunan jalan raya sepanjang 30 kilometer, sebenarnya dana yang dibutuhkan hanya 20 miliar rupiah, namun bupati tersebut menuliskan anggaran yang dibutuhkan sebanyak 25 miliar rupiah di dalam proposalnya. Maka uang anggaran yang 5 miliar tersebut bisa dianggap sebagai tindakan korupsi.

2. Sebab dan Akibat Korupsi
2.2.1. Penyebab Korupsi
Korupsi kini membudaya dalam setiap lapisan masyarakat di negeri kita. Banyak faktor yang dapat menyebabkan suatu tindakan korupsi itu dilakukan, menurut Alatas (1986), setidaknya ada 10 faktor yang menjadi penyebab korupsi, antara lain:
1. Ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mampu memberikan ilham dan mempengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi.
2. Kelemahan pengajaran-pengajaran etika dan agama. Faktor inilah yang menurut penulis merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam maraknya tindak pidana korupsi yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Disini kita patut menyadari arti penting dari pendidikan anti-korupsi yang semestinya dibudayakan sejak usia dini, sehingga mentalitas para pemimpin bangsa yang bobrok seperti saat ini dapat dinaikkan tarafnya ke tingkatan yang lebih tinggi. Mental yang telah baik tentu saja tidak akan dapat dirasuki keinginan untuk melakukan tindakan korupsi.
3. Kolonialisme.
4. Kurangnya pendidikan.
5. Kemiskinan / faktor ekonomi.
6. Tiadanya tindak hukuman yang keras.
7. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku anti-korupsi.
8. Struktur pemerintahan (yang memunculkan kesempatan untuk berbuat korupsi).
9. Perubahan radikal, sebagai penyakit transisional akibat dari suatu system yang mengalami perubahan.
10. Keadaan masyarakat.
Sementara menurut Cressey (Entang, 2009), faktor yang mendorong seseorang untuk berbuat korupsi ada tiga, yakni:
1. Tekanan (pressure). Tekanan disini adalah tekanan dalam hal keuangan, sehingga memaksa para koruptor untk bebruat korupsi.
2. Kesempatan (opprtunity). Temtu saja hal ini sangat mempengaruhi seseorasng untk berbuat korupsi. Tanpa adanya kesempatan, seseorang tak akan bisa berbuat korupsi. Kesempatan ini dapat timbul karena bebrbagai lasan, misalnya: kurangnya pengawasan atasan terhadap bawahan, kepercayaan atasan yang diberikan pada bawahan terlalu luas, dan lain sebagainya.
3. Pembenaran (rationalization). Seseorang yang telah berbuat korupsi pasti akan mencari alasan pembenar agar dirinya tidak dianggap menyalahi aturan. Temtunya pembenaran ini akan dijadikan sebagai alat pembela / tameng atas tindakan yang dilakukannya, sehingga tujuannya yang melanggar hukum itu dapat tersamarkan.
2.2.2. Akibat Korupsi
Dampak-dampak korupsi yang dapat kita rasakan antara lain (KPK, tanpa tahun):
• Penegakan hukum dan layanan masyarakat menjadi tak teratur
• Pembangunan fisik menjadi terbengkalai
• Prestasi menjadi tak berarti
• Demokrasi menjadi tidak berjalan
• Ekonomi menjadi hancur


3. Sejarah Pelaksanaan Korupsi di Indonesia
Korupsi di Indonesia tidak hanya terjadi pada era modern seperti saat ini saja, namun telah membudaya sejak dulu. Jauh sebelum Negara Indonesia merdeka, praktek korupsi sudah mulai diterapkan. Dimulai dari zaman kerajaan Hindu-Budha, dimana pada saat itu banyak terjadi perebutan kekuasaan. Dari segi politis, mereka memang menginginkan posisi raja agar dapat menjadi penguasa saaat itu, namun apabila kita lihat dari segi ekonomis, mereka menginginkan posisi raja tersebut untuk memperkaya pribadi dan keluarga diantara kaum bangsawan (http://asepsofyan.multiply.com/journal/item/20). Sebenarnya kehancuran kerajaan-kerajaan besar (Sriwijaya, Majapahit dan Mataram) adalah karena perilaku korup dari sebagian besar para bangsawannya. Bahkan menurut penelitian dari Sutherland (Abdullah, 2009), sebelum kedatangan bangsa barat, masyarakat Jawa merupakan masyarakat feodal yang korup meskipun memiliki budaya tinggi dan lembaga semi demokrasi. Hal itu terbukti dengan maraknya budaya pembayaran upeti terhadap para pemimpin yang telah berjasa pada rakyatnya. Sehingga budaya upeti secara tidak langsung merupakan cikal bakal budaya korupsi (Abdullah, 2009). Datangnya bangsa barat pada saat itu justru semakin memperkeruh budaya yang mengarah pada tindakan korupsi yang sedang berkembang.


4. Korupsi Pada Masa Reformasi
Banyak orang yang beranggapan bahwa pengalaman pahit bangsa Indonesia atas apa yang terjadi pada masa orde baru akan berakhir seiring mundurnya presiden Soeharto. Saat itu banyak orang menginginkan perubahan dengan mengedepankan kata ‘reformasi’. Memang pada saat itu dangat dibutuhkan reformasi / perombakan dalam segala bidang, mulai dari pemerintahan, system penegakan hukum, bahkan system konstitusi yang mengatur kehidupan rakyat.
Tuntutan utama rakyat pada saat itu salah satunya adalah tuntutan pada pemerintah yang baru untuk memeriksa dan mengusut dugaan kasus korupsi yang terjadi di tujuh yayasan milik mantan penguasa orde baru, Soeharto. Melalui ketujuh yayasannya, Soeharto dituduh melakukan korupsi sebesar 1,4 triliun rupiah. Ketujuh yayasannya tersebut adalah: Yayasan Dana Sejahtera Mandiri, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharma Bhakti Sosial (Dharmais), Yayasan Dana Abadi Karya Bhakti (Dakab), Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Yayasan Dana Gotong Royong Kemanusiaan, dan Yayasan Trikora. Niat korupsi Soeharto telah tampak sejak beliau mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 90 Tahun 1995, yang menghimbau para pengusaha untuk menyumbang 2 persen dari keuntungannya untuk Yayasan Dana Mandiri. Memang pada saat itu tidak ada yang berani berpaling dengan Keppres tersebut, karena seperti kita ketahui kekuasaan Soeharto di masa orde baru bisa disebut hampir tak terbatas.
Namun sayang, keinginan para penuntut Soeharto yang tergabung dalam berbagai organisasi, seperti Gerakan Masyarakat Adili Soeharto (Gemas) dan Asosiasi Penasihat Hukum dan HAM (APHI) untuk menjebloskannya ke penjara urung terwujud. Hal itu disebabkan permohonan praperadilan Surat Keputusan Penghentian Penunututan Perkara (SKP3) yang diajukan oleh berbagai organisasi atas dasar kondisi fisik dan mental terdakwa yang tidak layak diajukan ke persidangan, dikabulkan oleh Jaksa Agung, Abdurrahman Sakeh melalui Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Walaupun menuai protes SKP3 tersebut tetap disahkan pada 1 Agustus 2006.
Meskipun kasus Soeharto telah dianggap selesai, bukan berarti takkan ada lagi kasus korupsi. Kata reformasi yang banyak dikedepankan banyak orang nampaknya tak terjadi pada kasus-kasus korupsi di masa pasca orde baru. Hingga kini, kasus-kasus korupsi kembali bermunculan, tak ubahnya seperti jamur di musim hujan.
Berikut sekelumit kasus korupsi yang terjadi di masa reformasi berdasarkan data dari beberapa situs (wikipedia dan Tempo online):
 Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)
BLBI adalah skema bantuan (pinjaman) yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat terjadinya krisis moneter 1998 di Indonesia. Skema ini dilakukan berdasarkan perjanjian Indonesia dengan IMF dalam mengatasi masalah krisis. Pada bulan Desember 1998, BI telah menyalurkan BLBI sebesar Rp 147,7 triliun kepada 48 bank.
Audit BPK terhadap penggunaan dana BLBI oleh ke-48 bank tersebut menyimpulkan telah terjadi indikasi penyimpangan sebesar Rp 138 triliun, karena dana tersebut banyak yang diselewengkan oleh penerimanya. Proses penyalurannya pun banyak yang melalui penyimpangan-penyimpangan. Beberapa mantan direktur BI telah menjadi terpidana kasus penyelewengan dana BLBI, antara lain Paul Sutopo Tjokronegoro, Hendro Budiyanto, dan Heru Supratomo.

 Dana APBD provinsi NAD
Korupsi dana APBD provinsi NAD dengan ini dilakukan oleh mantan gubernur NAD, Abdullah Puteh. Beliau dinyatakan bersalah atas pembelian helikopter dan genset listrik yang merugikan negara senilai Rp 30 miliar. Puteh akhirnya divonis hukuman selama penjara 10 tahun oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

 Dana YPPI
Kasus korupsi dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) yang merugikan negata sebesar Rp 100 miliar ini diduga dilakukan oleh mantan gubernur Bank Indonesia (BI), Burhanuddin Abdullah. Beliau divonis kurungan 5 tahun oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Oktober 2008. Belakangan, majelis hakim banding Pengadilan Tinggi Jakarta memperberat hukuman menjadi 5 tahun 6 bulan penjara pada Februari 2009. Karena tak puas, Burhanuddin mengajukan kasasi, dan dikabulkan oleh majelis kasasi Mahkamah Agung pada Agustus 2009. Tapi majelis tetap menyatakan Burhanuddin bersalah dan menjatuhkan pidana tiga tahun serta denda Rp 200 juta. Setelah menjalani dua pertiga masa hukuman dan membayar denda, Burhanuddin bisa menghirup udara bebas dengan status bebas bersyarat.
Selain kasus-kasus diatas, tentunya masih banyak kasus korupsi lain yang terjadi akhir-akhir ini. Hampir semua tindakan korupsi --termasuk kasus-kasus diatas-- memiliki ciri yang sama. Ciri tersebut adalah ciri terpenting korupsi, yakni pemakaian wewenang dan kekuasaan formal secara tersembunyi dengan dalih benar menurut hukum, tujuan sebenarnya hendak dicapai dengan menyalahgunakan kekuasaan dan wewenang yang selalu disembunyikan (Lubis dan Scott,1988: 7). Kasus-kasus korupsi yang banyak terjadi tersebut memaksa Indonesia berada di peringkat top negara-negara terkorup di dunia. Berdasarkan survei terbaru Transparency International yaitu "Barometer Korupsi Global", menempatkan partai politik di Indonesia sebagai institusi terkorup dengan nilai 4,2 (dengan rentang penilaian 1-5; 5 untuk yang terkorup). Berdasarkan dari data itu pula, di Asia, Indonesia menduduki prestasi sebagai negara terkorup dengan skor 9.25 (terkorup 10) di atas India (8,9), Vietnam (8,67), Filipina (8,33) dan Thailand (7,33).
Apa yang menyebabkan kasus-kasus korupsi tersebut kembali terjadi di masa kini? Walaupun kata-kata ‘reformasi’ dan ‘perubahan’ sering diagung-agungkan oleh banyak orang. Pemerintah pun bukannya tanpa usaha dalam memberantas korupsi. Berbagai macam badan dan organisasi telah dibentuk oleh pemerintah, misalnya:
1) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
KPK merupakan sebuah komisi yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. KPK memiliki beberapa kelebihan, antara lain:
• Melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan;
• Memerintahkan instansi terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri;
• Memerintahkan pimpinan atau atasan tersangka iuntuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya;
• Meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka pada instansi terkait; dll
2) Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN)
KPKPN adalah komisi yang didirikan untuk mengawasi kekayaan pejabat-pejabat yang berpeluang melakukan korupsi. Namun, seiring dengan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tugas KPKPN melebur masuk ke dalam KPK, sehingga KPKPN sendiri hilang dan menguap.
Selain pemerintah, masyarakat pun ikut mendirikan organisasi-organisasi anti korupsi, seperti:
1) Indonesia Corruption Watch (ICW)
ICW terbentuk di Jakarta pada 21 Juni 1998 di tengah-tengah gerakan reformasi yang menghendaki pemerintahan pasca orde baru yang bebas korupsi. ICW merupakan organisasi swasta yang bertujuan untuk mengawasi dan melaporkan kepada publik mengenai aksi korupsi yang terjadi di Indonesia.
2) Cinta Indonesia Cinta Anti Korupsi (CICAK)
Gerakan ini pada awalnya bernama Cinta Indonesia Cinta Komisi Pemberantasan Korupsi atau disingkat CICAK kemudian berubah menjadi Cinta Indonesia Cinta Anti Korupsi dengan singkatan tetap sama yaitu CICAK bermula dari Deklarasi CICAK - Cinta Indonesia Cinta KPK pada tanggal 12 Juli 2009 bertempat di Tugu Proklamasi adalah sebuah koalisi dari organisasi-organisasi terdiri dari Indonesia Corruption Watch, Transparency International Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum, Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Kemitraan, Aliansi Jurnalis Independen dan kemudian diikuti oleh masyarakat perorangan.

Walaupun badan-badan seperti yang dijelaskan diatas telah dibentuk, namun tindak pidana korupsi tetap saja banyak dilakukan oleh kalangan pejabat tinggi. Ini merupakan sebuah kegagalan besar sepeninggal rezim orde baru. Menurut penulis, ada beberapa hal yang menjadi penyebab kegagalan orde reformasi untuk memberantas korupsi, antara lain:
a. Kurang tegasnya ancaman pidana hukum bagi para tersangka koruptor. Mereka nampaknya tidak takut akan ancaman-ancaman pidana yang akan diberikan bila berbuat korupsi. Hal ini tentu membuat para pejabat seolah berjudi dalam melakukan korupsi.
b. Kurangnya pengawasan atasan terhadap kinerja para bawahan, yang bisa menimbulkan kesempatan untuk berbuat korupsi
c. Gaji para pegawai negeri yang begitu minim. Sebaiknya gaji para pegawai pemerintah tidak sebegitu rendahnya agar tidak menumbulkan godaan untuk berbuat korupsi. Terutama bagi para pegawai yang bertugas sebagai penegak hukum di negeri ini, sebab bagaimana suatu tindak kejahatan akan dapat diberantas apabila para pengamannya saja tidak bisa mengamankan dirinya sendiri dari tindakan yang melawan hukum.
d. Tidak adanya suatu pemahaman tentang bahaya laten korupsi. Pemahaman ini perlu diajarkan sejak usia dini, sehingga para generasi penerus kita akan sadar betapa buruk dan bahayanya suatu tindakan korupsi.
e. Kurangnya mentalitas agama kita dalam bekerja. Sebagaimana kita ketahui kehidupan kita banyak dilandasi oleh agama, sehingga para pemuka agama sebenarnya dapat dijadikan pemacu atau pemberi motivasi dalam memberantas korupsi.


5. Penanggulangan Korupsi
Memang mentalitas kerja menjadi suatu hal yang penting dalam menahan godaan untuk melakukan korupsi. Menurut Taufiequrachman Ruki (http://id.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemberantasan_Korupsi), pembudayaan etika dan integritas antikorupsi harus melalui proses yang tidak mudah, sehingga dibutuhkan adanya peran pemimpin sebagai teladan dengan melibatkan institusi keluarga, pemerintah, organisasi masyarakat dan organisasi bisnis. Oleh karena itu, nampaknya terdapat hal yang salah dalam budaya kita. Budaya korupsi yang telah mengakar di negeri kita sangatlah sulit untuk dihilangkan -atau bahkan tak dapat dihilangkan secara penuh-, namun untuk mencegah dan meminimalisirnya, tak ada salahnya kita melakukan transformasi budaya (Lubis, 1988). Kita memang perlu merevisi budaya kita dengan cara memilah-milah mana yang harus kita kembangkan dan mana yang harus kita buang dari budaya kita. Tentu saja hal-hal yang bersifat negatif semacam korupsi perlu dieliminir dari budaya kita. Menurut Lubis (1988), hal penting yang dapat kita lakukan ialah, umpamanya mengembangkan:
1. Kemampuan nilai budaya untuk memisahkan secara tegas antara kepentingan pribadi dengan umum (masyarakat, negara, dan bangsa). Memang kemampuan inilah yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang dalam melakukan pekerjaannya. Hal ini mutlak diperlukan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dalam bekerja. Seperti kita ketahui banyak sekali pejabat-pejabat yang menyelewengkan dana untuk kepentingan umum, dan malah dialirkan ke kocek-kocek mereka.
2. Kemampuan nilai budaya untuk memisahkan secara tegas antara milik pribadi dengan milik umum (masyarakat, negara, dan bangsa). Kemampuan ini sangatlah dibutuhkan oleh setiap warga negara, terutama pada kalangan pegawai, agar tidak terjadi pengakuan kekayaan secara sepihak.
3. Kemampuan membedakan dimana letak solidaritas pegawai negeri dengan keluarga (masalah pribadi, tanggung jawab pribadi tidak melibatkan kedinasan) dan memisahkannya dari solidaritas kedinasan pada kepentingan umum. Kemampuan ini perlu dimiliki oleh setiap pegawai kedinasan agar tidak melakukan tindakan nepotisme yang notabene merupakan pelanggaran kerja, karena lebih loyal pada keluarga daripada dengan kedinasan.
Disamping pembenahan dalam sisi budaya, kita pun perlu melakukan pembenahan di bidang hukum. Pemerintah pun memunculkan istilah ’gratifikasi’ melalui UU No. 30 Tahun 2002 yang tidak lain adalah tindakan suap. Gratifikasi dapat diartikan sebagai penyogokan secara tidak langsung, untuk mempermudah urusan si penyogok. Misalnya berupa pemberian hadiah, kado, parcel, dan pemberian lainnya yang bersifat cuma-cuma. Dalam tindak gratifikasi, tidak hanya si penyogok yang dapat dituntut, namun yang menerima sogok juga dapat dituntut.
Korupsi di Indonesia memang tidak dapat diberantas dengan cara yang instan. Sekalipun kini korupsi tidak bisa diberantas, kita setidaknya dapat melakukan handling terhadap korupsi. Kita bisa mencatat kondisi-kondisi yang dapat menjinakkan korupsi, sebagai berikut (Alatas, 1986):
a. Suatu keterikatan positif pada pemerintahan dan keterlibatan spiritual dalam tugas kemajuan nasional dari public maupun dari birokrasi.
b. Administrasi yang efisien dan penyesuaian structural yang layak dari mesin dan aturan pemerintahan sehingga menghindari penciptaan sumber-sumber korupsi.
c. Kondisi-kondisi sejarah dan sosiologis yang menguntungkan.
d. Berfungsinya suatu system nilai yang anti korupsi.
e. Kepemimpinan kelompok yang berpengaruh dengan standar-standar moral dan intelektual yang tinggi.
f. Publik yang terdidik dengan intelegensia yang cukup untuk menilai dan mengikuti tingkah laku peristiwa.
Kekuatan utama untuk memberantas korupsi sebenarnya berada di tangan para penegak hukum. Namun, hukum tak akan berarti bila kewenangan yang dimiliki para penegak hukum disalahgunakan. Menurut Taverne (Harahap, 2009) ‘peraturan perundang-undangan yang baik tidak ada artinya apabila para penegak hukum tidak menegakkannya apalagi kalau menggerogotinya’. Kewenangan yang dimiliki para penegak hukum tidak boleh disalahgunakan. Bagaimana jadinya apabila para penegak hukum justru bersekongkol dengan para pelanggar hukum? Tentu saja ini akan mengakibatkan kehancuran sistemik pada segala aspek. Bahkan jika dibiarkan akan menjadikan Negara ini sebagai apa yang Max Weber sebut sebagai ‘Negar Lunak’ (Salam dan Santosa, 2003) yang memiliki ciri-ciri salah satunya yaitu menjadikan praktek-praktek KKN dan sebagainya sebagai kegiatan yang membudaya tanpa kemauan secara sungguh-sungguh untuk memberantasnya.

1 komentar:

  1. Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

    Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

    Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

    Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

    Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut

    BalasHapus